
SINTAKSIS BAHASA INDONESIA II
(L)
TUGAS
dibuat
guna memenuhi tugas Matakuliah Sintaksis Bahasa Indonesia II
(L)
Oleh
NA’IIM ARSYADI MUHSIN
120110201100
JURUSAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
A.
BAHASA
Bahasa adalah lambang bunyi yang arbiter yaitu dihasilkan
oleh alat ucap manusia yang bersifat oral dan noninstingtif. Lambang yaitu sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain
Arbiter/anomali/tidak asosiatif atau tidak beraturan, bunyi dan bendanya tidak
ada hubungan. Plato, bunyi bahasa bersifat asosiatif Transitory (fana). Non
instingtif (naluri), bahasa harus dipelajari reference/acuan. Bersifat arbiter,
contoh hewan berkaki empat yang bersuara meong berarbiter menjadi nama kucing.
B. TATARAN LINGUISTIK : FONOLOGI
Fonologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari tata bunyi/kaidah
bunyi dan cara menghasilkannya. Mengapa bunyi dipelajari? Karena wujud
bahasa yang paling primer adalah bunyi. Bunyi adalah Getaran udara yang masuk
ke telinga sehingga menimbulkan suara. Bunyi bahasa adalah bunyi yang dibentuk
oleh tiga faktor, yaitu pernafasan (sebagai sumber tenaga), alat ucap (yang
menimbulkan getaran), dan rongga pengubah getaran (pita suara).
Fonologi dibedakan menjadi, fonetik dan fonemik. Didalam fonologi terdapat
istilah fonem, fon, dan alofon. Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang masih
abstrak atau yang tidak diartikulasikan. Fonem merupakan aspek bahasa pada
aspek langue (istilah de Sausure), misalnya /t/. /d/, /c/. Fon adalah
realisasi dari fonem (parole), atau bunyi yang diartikulasikan
(diucapkan) misalnya {lari}. Alofon adalah perbedaan bunyi yang tidak
menimbulkan perbedaan makna, misalnya /i/ dan /I/ dalam /menangIs/.
Bunyi Vokal : bunyi yang tidak
mengalami hambatan di daerah artikulator. Disebut juga huruf hidup karena
dapat berdiri sendiri dan dapat menghidupkan konsonan. Terdiri dari : a, i, u,
e, o. Diftong → au, ai, oi.
Fonetik
Klasifikasi vokal :
Klasifikasi vokal :
Berdasarkan
bentuk bibir Vokal bulat → a, o, u, Vokal lonjong → i, e, Berdasarkan tinggi
rendah lidah. Tinggi → i, Tengah → e, Bawah → a. Berdasarkan maju mundurnya
lidah. Depan → i, a, Tengah → e, Belakang → o
Bunyi Konsonan
Bunyi Konsonan adalah bunyi yang mengalami hambatan dalam pengucapan.
Pembentukan konsonan
a)
Bilabial : pembentukan konsonan oleh 2 bibir. (b, p, m)
b)
Apikodental : pembentukan konsonan oleh ujung lidah dan gigi (t, d, h)
c)
Labiodental : pembentukan konsonan oleh gigi dan bibir (f, v)
d)
Palatal : lidah – langit-langit keras (c, j)
e)
Velar : belakang lidah – langit-langit lembut (k,g)
f) Hamzah
(glottal stop) : posisi pita suara tertutup sama sekali.
g)
Laringal : pita suara terbuka lebar, udara keluar melalui geseran.
Macam-macam bunyi bahasa
Bunyi Segmental
Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan
pita suara. Bunyi Segmental ada empat macam
- Konsonan= bunyi yang terhambat oleh alat ucap
- Vokal = bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap
- Diftong= dua vokal yang dibaca satu bunyi, misalnya: /ai/ dalam sungai, /au/ dalam /kau/
- Kluster= dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
Contoh Kluster/Konsonan Rangkap
ng:
yang
ny:
nyonya
kh:
khusus, khas, khitmad,
pr:
produksi, prakarya, proses
kr:
kredit, kreatif, kritis, krisis
sy:
syarat, syah, syukur
str:
struktur, strata, strategi
spr:
sprai
tr :
tradisi, tragedi, tragis, trauma, transportasi.
b. Bunyi Supra Segmental
Dalam suatu runtutan bunyi yang sambung-bersambung terus-menerus
diselangseling dengan jeda singkat atau agak singkat, disertai dengan keras
lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, ada bunyi yang dapat
disegmentasikan yang disebut bunyi segmental.
1
. Tekanan atau Stres
Menyangkut
masalah keras lunaknya bunyi.
2
. Nada atau Pitch
Berkenaan
dengan tinggi rendahnya bunyi.
3
Jeda atau Persendian
Berkenaan
dengan hentian bunyi dalam arus ujar.
Jeda antar
kata, diberi tanda ( / )
Jeda antar
frase, diberi tanda ( // )
Jeda antar
kalimat, diberi tanda ( # )
Fonemik
Pengertian
Fonemik
1. Fonetik
adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara umum,
tanpa memperhatikan makna, yang tidak bersifat fungsional, kajian bunyi bahasa
manapun. Sedangkan fonemik adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari
bahasa tertentu yang memperhatikan perbedaan makna.
2.
Fonemisasi adalah salah satu prosedur atau cara menemukan fonem suatu bahasa.
Penemuan fonem suatu bahasa itu didasarkan pada data-data yang secara fonetis
akurat. Salah satu prosedur fonemisasi adalah “pasangan minimal” (minimal pairs).
Pasangan minimal, yaitu bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam
sebuah bahasa yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi yang tidak sama. Hasil
dari fonemisasi dengan prosedur pasangan minimal adalah ditemukannya suatu
fonem, yaitu satuan bunyi yang terkecil yang fungsional atau distingtif, dalam
arti membedakan makna.
Asimilasi
merupakan peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi lain sebagai akibat
dari bunyi yang ada di lingkungannya. Disimilasi yaitu perubahan dua buah fonem
yang sama menjadi fonem yang berlainan. Kontraksi adalah pemendekan bentuk
ujaran yang ditandai dengan hilangnya sebuah fonem atau lebih.
Fonem dan grafem
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat
membedakan makna kata. Untuk menetapkan apakah suatu bunyi berstatus sebagai
fonem atau bukan harus dicari pasangan minimalnya.
Alofon merupakan realisasi sebuah fonem. Alofon dapat dilambangkan dalam
wujud tulisan atau transkripsi fonetik yaitu penulisan pengubahan menurut
bunyi, dan tandanya adalah […]. Grafem merupakan pelambangan fonem ke dalam
transkripsi ortografis, yaitu penulisan fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem
ejaan yang berlaku pada suatu bahasa, atau penulisan menurut huruf dan ejaan
suatu bahasa.
C. TATARAN LINGUISTIK : MORFOLOGI
Identifikasi Morfem
Untuk menentukan bahwa sebuah satuan bentuk merupakan morfem atau bukan
kita harus membandingkan bentuk tersebut di dalam bentuk lain. Bila satuan
bentuk tersebut dapat hadir secara berulang dan punya makna sama, maka bentuk tersebut
merupakan morfem. Dalam studi morfologi satuan bentuk yang merupakan morfem
diapit dengan kurung kurawal ({ }) kata kedua menjadi {ke} + {dua}.
Morf dan Alomorf
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya.
Sedangkan Alomorf nama untuk bentuk bila sudah diketahui status morfemnya
(bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama) .
Melihat .
me-
Membawa .
mem-
Menyanyi .
meny-
Menggoda .
meng-
Klasifikasi Morfem
Klasifikasi morfem didasarkan pada kebebasannya, keutuhannya, maknanya dan
sebagainya.
Morfem bebas dan Morfem terikat
Morfem Bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul
dalam pertuturan. Sedangkan yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem
yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam
pertuturan. Berkenaan dengan morfem terikat ada beberapa hal yang perlu
dikemukakan. Pertama bentuk-bentuk seperti : juang, henti, gaul, dan , baur
termasuk morfem terikat. Sebab meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam
petuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi. Bentuk lazim
tersebut disebut prakategorial. Kedua, bentuk seperti baca, tulis, dan tendang
juga termasuk prakategorial karena bentuk tersebut merupakan pangkal kata,
sehingga baru muncul dalam petuturan sesudah mengalami proses morfologi. Ketiga
bentuk seperti : tua (tua renta), kerontang (kering kerontang), hanya dapat
muncul dalam pasangan tertentu juga, termasuk morfem terikat. Keempat, bentuk
seperti ke, daripada, dan kalau secara morfologis termasuk morfem bebas. Tetapi
secara sintaksis merupakan bentuk terikat. Kelima disebut klitika. Klitka
adalah bentuk singkat, biasanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat
tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat tetapi tidak dipisahkan
.
Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Morfem utuh adalah morfem dasar, merupakan kesatuan utuh. Morfem terbagi
adalah sebuah morfem yang terdiri dari dua bagian terpisah. Catatan yang perlu
diperhatikan dalam morfem terbagi. Pertama, semua afiks disebut konfiks
termasuk morfem terbagi. Untuk menentukan konfiks atau bukan, harus
diperhatikan makna gramatikal yang disandang. Kedua, ada afiks yang disebut
sufiks yakni yang disisipkan di tengah morfem dasar.
Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem segmental. Morfem
suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur suprasegmental seperti
tekanan, nada, durasi.
Morfem beralomorf zero
Morfem beralomorf zero adalah morfem yang salah satu alomorfnya tidak
berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi melainkan kekosongan.
Morfem bermakna Leksikal dan Morfem tidak bermakna Leksikal
Morfem bermakna leksikal adalah morfem yang secara inheren memiliki makna
pada dirinya sendiri tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Sedangkan morfem
yang tidak bermakna leksikal adalah tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya
sendiri.
Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (stem), dan Akar(root)
Morfem dasar bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi bisa diulang
dalam suatu reduplikasi, bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses
komposisi. Pangkal digunakan untuk menyebut bentuk dasar dari proses infleksi.
Akar digunakan untuk menyebut bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh.
D. TATARAN LINGUISTIK : SINTAKSIS
Kajian Sintaksis
Morfosintaksis yaitu gabungan dari morfologi dan sintaksis. Morfologi
membicarakan tentang struktur internal kata. Sintaksis membicarakan tentang
hubungan kata dengan kata lain.
Struktur Sintaksis
Struktur sintaksis ada tiga yaitu fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan
peran sintaksis. Dalam fungsi sintaksis ada hal-hal penting yaitu subjek,
predikat, dan objek. Dalam kategori sintaksis ada istilah nomina, verba,
adjektiva, dan numeralia. Dalam peran sintaksis ada istilah pelaku, penderita,
dan penerima. Menurut Verhaar (1978), fungsi-fungsi S, P, O, dan K merupakan
kotak kosong yang diisi kategori dan peranan tertentu.
Contohnya:
Kalimat aktif: Nenek melirik kakek tadi pagi.
S P O K
pelaku
sasaran
Kalimat
pasif: Kakek dilirik nenek tadi pagi.
S P O K
sasaran
pelaku
Agar
menjadi kalimat berterima, maka fungsi S dan P harus berurutan dan tidak
disisipi kata di antara keduanya. Struktur sintaksis minimal mempunyai
fungsi subjek dan predikat seperti pada verba intransitif yang tidak
membutuhkan objek.
Contohnya:
Kakek makan.
Verba
transitif selalu membutuhkan objek.
Contohnya:
Nenek membersihkan kamarnya.
Menurut
Djoko Kentjono(1982), hadir tidaknya fungsi sintaksis tergantung konteksnya.
Contohnya: Kalimat
seruan: Hebat!
Kalimat
jawaban: Sudah!
Kalimat
perintah: Baca!
Fungsi-fungsi sintaksis harus diisi kategori-kategori yang sesuai. Fungsi
subjek diisi kategori nomina, fungsi predikat diisi kategori verba, fungsi
objek diisi kategori nomina, dan fungsi keterangan diisi kategori adverbia.
Contohnya:
Dia guru.(salah) Dia adalah guru.(benar)
S O S P O
Kata “adalah” pada kalimat tersebut merupakan verba kopula, seperti to be
pada bahasa Inggris.
-
Berenang menyehatkan tubuh.
S P O
Kata “berenang” menjadi berkategori nomina karena yang dimaksud adalah
pekerjaan berenangnya. Peran dalam struktur sintaksis tergantung pada makna
gramatikalnya. Kata yang bermakna pelaku dan penerima tetap tidak berubah
walaupun kata kerja yang aktif diganti menjadi pasif. Pelaku berarti objek yang
melakukan pekerjaan. Penerima berarti objek yang dikenai pekerjaan. Makna
pelaku dan sasaran merupakan makna gramatikal. Eksistensi struktur sintaksis
terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi. Perbedaan urutan
kata dapat menimbulkan perbedaan makna.
Contohnya:
tiga jam – jam tiga.
Nenek
melirik kakek. – Kakek melirik nenek.
Dalam kalimat aktif transitif mempunyai kendala gramatikal yaitu fungsi
predikat dan objek tidak dapat diselipi kata keterangan.
Contohnya:
Nenek melirik tadi pagi kakek.(salah)
Intonasi merupakan penekanan. Perbedaan intonasi juga menimbulkan perbedaan
makna. Intonasi ada tiga macam yaitu intonasi deklaratif untuk kalimat bermodus
deklaratif atau berita dengan tanda titik, intonasi interogatif dengan tanda
tanya, dan intonasi interjektif dengan tanda seru. Intonasi juga dapat berupa
nada naik atau tekanan.
Contohnya:
Kucing / makan tikus mati.
Kucing
makan tikus / mati.
Kalimat tersebut sudah berbeda makna karena tafsiran gramatikal yang
berbeda yang disebut ambigu atau taksa. Konektor bertugas menghubungkan
konstituen satu dengan yang lain. dilihat dari sifatnya, ada dua macam
konektor. Konektor koordinatif menghubungkan dua konstituen sederajat.
Konjungsinya seperti dan, atau, dan tetapi. Contohnya: Nenek dan kakek pergi ke
sawah. Konektor subordinatif menghubungkan dua konstituen yang tidak sederajat.
Konjungsinya seperti kalau, meskipun, dan karena. Contohnya: Kalau diundang,
saya tentu akan datang.
Frase
Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas fungsi. Misalnya: akan datang, kemarin pagi, yang sedang
menulis.
Dari
batasan di atas dapatlah dikemukakan bahwa frase mempunyai dua sifat, yaitu
a.
Frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
b.
Frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya
frase itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa yaitu: S, P, O, atau
K.
Macam-macam
frase:
A.
Frase endosentrik
Frase endosentrik adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan
unsurnya. Frase endosentrik dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1.
Frase endosentrik yang koordinatif, yaitu: frase yang terdiri dari unsur-unsur
yang setara, ini dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan
kata penghubung.
Misalnya:
kakek-nenek : pembinaan dan pengembangan
laki
bini : belajar atau
bekerja
2.
Frase endosentrik yang atributif, yaitu frase yang terdiri dari unsur-unsur
yang tidak setara. Karena itu, unsur-unsurnya tidak mungkin dihubungkan.
Misalnya:
perjalanan panjang
hari libur
Perjalanan, hari merupakan unsur pusat, yaitu: unsur yang secara
distribusional sama dengan seluruh frase dan secara semantik merupakan unsur
terpenting, sedangkan unsur lainnya merupakan atributif.
3.
Frase endosentrik yang apositif: frase yang atributnya berupa aposisi/
keterangan tambahan.
Misalnya:
Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai.
Dalam frase Susi, anak Pak Saleh secara sematik unsur yang satu, dalam hal
ini unsur anak Pak Saleh, sama dengan unsur lainnya, yaitu Susi. Karena, unsur
anak Pak Saleh dapat menggantikan unsur Susi. Perhatikan jajaran berikut:
Susi, anak
Pak Saleh, sangat pandai
Susi, ….,
sangat pandai.
…., anak
Pak Saleh sangat pandai.
Unsur Susi merupakan unsur pusat, sedangkan unsur anak Pak Saleh merupakan
aposisi (Ap).
B.
Frase Eksosentrik
Frase eksosentrik ialah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama
dengan unsurnya.
Misalnya:
Siswa kelas
1A sedang bergotong royong di dalam kelas.
Frase di dalam kelas tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya.
Ketidaksamaan itu dapat dilihat dari jajaran berikut:
Siswa kelas
1A sedang bergotong royong di ….
Siswa kelas
1A sedang bergotong royong …. kelas
C.
Frase Nominal, frase Verbal, frase Bilangan, frase Keterangan.
1.
Frase Nominal: frase yang memiliki distributif yang sama dengan kata nominal.
Misalnya:
baju baru, rumah sakit
2.
Frase Verbal: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan golongan kata
verbal.
Misalnya:
akan berlayar
3.
Frase Bilangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan.
Misalnya:
dua butir telur, sepuluh keping
4.
Frase Keterangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata
keterangan.
Misalnya:
tadi pagi, besok sore
5.
Frase Depan: frase yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh
kata atau frase sebagai aksinnya.
Misalnya:
di halaman sekolah, dari desa
D.
Frase Ambigu
Frase ambigu artinya kegandaan makna yang menimbulkan keraguan atau
mengaburkan maksud kalimat. Makna ganda seperti itu disebut ambigu.
Misalnya:
Perusahaan pakaian milik perancang busana wanita terkenal, tempat mamaku
bekerja, berbaik hati mau melunaskan semua tunggakan sekolahku.
Frase
perancang busana wanita dapat menimbulkan pengertian ganda:
1.
Perancang busana yang berjenis kelamin wanita.
2.
Perancang yang menciptakan model busana untuk wanita.
Klausa
Klausa adalah satuan gramatika yang terdiri dari subjek (S) dan predikat
(P) baik disertai objek (O), dan keterangan (K), serta memilki potensi untuk
menjadi kalimat. Misalnya: banyak orang mengatakan.
Unsur inti
klausa ialah subjek (S) dan predikat (P).
Penggolongan
klausa:
1.
Berdasarkan unsur intinya
2.
Berdasarkan ada tidaknya kata negatif yang secara gramatik menegatifkan predikat
3.
Berdasarkan kategori kata atau frase yang menduduki fungsi predikat
Kalimat
a.
Pengertian
Kalimat adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang
mengandung pikiran yang lengkap dan punya pola intonasi akhir.
Contoh:
Ayah membaca koran di teras belakang.
b.
Pola-pola kalimat
Sebuah kalimat luas dapat dipulangkan pada pola-pola dasar yang dianggap
menjadi dasar pembentukan kalimat luas itu.
1.
Pola kalimat I = kata benda-kata kerja
Contoh:
Adik menangis. Anjing dipukul.
Pola
kalimat I disebut kalimat ”verbal”
2.
Pola kalimat II = kata benda-kata sifat
Contoh:
Anak malas. Gunung tinggi.
Pola
kalimat II disebut pola kalimat ”atributif”
3.
Pola kalimat III = kata benda-kata benda
Contoh:
Bapak pengarang. Paman Guru
Pola pikir kalimat III disebut kalimat nominal atau kalimat ekuasional.
Kalimat ini mengandung kata kerja bantu, seperti: adalah, menjadi, merupakan.
4.
Pola kalimat IV (pola tambahan) = kata benda-adverbial
Contoh: Ibu
ke pasar. Ayah dari kantor.
Pola
kalimat IV disebut kalimat adverbial
Jenis Kalimat
A.
Kalimat inti dan kalimat non inti.
Kalimat inti disebut juga kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari
klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif atau netral dan afirmatif.
Dalam bahasa Indonesia paling tidak kalimat inti kita dapati dengan pola
sebagai berikut:
FN + FV =
Nenek datang
FN + FV +
FN = Nenek membaca komik
FN + FV +
FN + PN = Nenek membacakan kakek komik
FN + FN =
Nenek dokter
FN + FA =
Nenek cantik
FN + Fnum =
Uangnya dua juta
FN + FP =
Uangnya di dompet
B.
Kalimat tunggal dan kalimat majemuk
Kalimat
tunggal : klausanya hanya satu
Kalimat
majemuk : klausa dalam kalimat terdapat lebih dari satu
Macam-macam
kalimat majemuk :
1) Kalimat
majemuk koordinatif.
2) Kalimat
majemuk subordinatif
3) Kalimat
majemuk kompleks.
C.
Kalimat mayor dan kalimat minor
Kalimat
mayor : klausanya lengkap, minimal mempunyai subjek dan predikat
Kalimat
minor : klausanya tidak lengkap, hanya terdiri dari S/P/O/K saja.
D.
Kalimat verbal dan kalimat non verbal
E.
Kalimat bebas dan kalimat terikat.
Wacana
a. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan
bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan,
pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana
tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai
satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat
yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya.
Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina
kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam
wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
b. Alat Wacana
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana
menjadi kohesif, antara lain: Pertama, konjungsi, yakni alat untuk
menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan
paragraf. Kedua, menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai
rujukan anaforis sehingga bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang
melainkan menggunakan kata ganti. Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu
penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koheren
dapat juga dibuat dengan bantuan berbagai aspek semantik, antara lain: Pertama,
menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam
wacana itu. Kedua, menggunakan hubungan generik – spesifik; atau sebaliknya
spesifik – generik. Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua
bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Keempat,
menggunakan hubungan sebab – akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atau
isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Kelima, menggunakan hubungan
tujuan di dalam isi sebuah wacana. Keenam, menggunakan hubungan rujukan yang
sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana.
c. Jenis Wacana
Berkenaan dengan sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis, dilihat
adanya wacana lisan dan wacana tulis. Dilihat dari penggunaan bahasa apakah
dalam bentuk uraian ataukah bentuk puitik dibagi wacana prosa dan wacana puisi.
Selanjutnya, wacana prosa, dilihat dari penyampaian isinya dibedakan menjadi
wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi.
d. Sub satuan Wacana
Dalam wacana berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan atau
sub-subsatuan wacana yang disebut bab, subbab, paragraf, atau juga subparagraf.
Namun, dalam wacana –wacana singkat sub-subsatuan wacana tidak ada.
E. TATARAN LINGUISTK : SEMANTIK
Kajian Semantik
Status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi dan sintaksis
adalah tidak sama. Semantik dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh
tataran, yaitu berada di tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Makna yang
menjadi objek semantik sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris,
sehingga semantik diabaikan. Tetapi, pada tahun 1965, Chomsky menyatakan bahwa
semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa dan makna kalimat
sangat ditentukan oleh semantik ini.
Hakikat Makna
Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari
2 komponen, yaitu komponen signifian (yang mengartikan) yang berwujud runtunan
bunyi, dan komponen signifie (yang diartikan) yang berwujud pengertian atau
konsep (yang dimiliki signifian). Menurut teori yang dikembangkan Ferdinand de
Saussure, makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada
sebuah tanda linguistik. Jika tanda linguistik tersebut disamakan identitasnya
dengan kata atau leksem, berarti makna adalah pengertian atau konsep yang
dimiliki oleh setiap kata atau leksem. Jika disamakan dengan morfem, maka makna
adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik morfem
dasar maupun morfem afiks.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata, makna kata atau leksem
itu seringkali terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya.
Banyak pakar menyatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata
apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Pakar itu juga
mengatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada
di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Bahasa bersifat arbiter,
sehingga hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
Jenis Makna
a. Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa
konteks apapun. Dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang
sebenarnya, sesuai dengan hasil observasi indera kita atau makna apa adanya.
Makna gramatikal adalah makna yang ada jika terjadi proses gramatikal seperti
afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Makna kontekstual adalah
makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks
dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan
penggunaan bahasa itu.
b. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem dikatakan bermakna referensial jika ada referensnya
atau acuannya. Ada sejumlah kata yang disebut kata diektik, yang acuannya tidak
menetap pada satu wujud. Misalnya : kata-kata pronominal seperti, dia, saya dan
kamu.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang
dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna
leksikal. Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna
denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang yang menggunakan kata
tersebut. Konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain.
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi menjadi makna konseptual dan makna
asosiatif. Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem
terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Makna konseptual sebenarnya sama
dengan makna leksikal, deotatif dan makna referensial. Makna asosiatif adalah
makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata bahasa. Makna asosiasi sama dengan
perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan
konsep lain, yang mempunyai kemiripan sifat, keadaaan atau ciri-ciri yang ada
pada leksem tersebut. Makna konotatif termasuk dalam makna asosiatif, karena
kata-kata tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna
stilistika berkenaan dengan perbedaan penggunaan kata sehubungan dengan
perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Makna afektif berkenaan dengan perasaan
pembicara terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna
kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata
dengan kata-kata yang bersinonim.
e. Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki oleh sebuah kata adalah makna leksikal,
denotatif atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru
menjadi jelas jika kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Istilah mempunyai makna yang pasti, jelas, tidak meragukan,
meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, istilah sering dikatakan bebas
konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks.
f. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna
unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Idiom terbagi
atas idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua
unsurnya telah melebur menjadi satu kesatuan. Sedangkan idiom sebagian adalah
idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikal sendiri.
Peribahasa memilliki makna yang masih dapat ditelusuri dari makna unsurnya
karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa
yang satu dengan yang lain.
a. Sinonim
Yaitu hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu
satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya
tidak akan sama persis. Ketidaksamaan itu terjadi karena faktor :
1. Faktor
waktu
2. Faktor
tempat atau wilayah
3. Faktor
keformalan
4. Faktor
sosial
5. Faktor
bidang kegiatan
6. Faktor
nuansa makna
b. Antonim
Yaitu hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya
menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang
lain.
c. Polisemi
Yaitu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Dalam kasus polisemi,
biasanya makna pertama adalah makna sebenarnya, yang lain adalah maknamakna
yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau
satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna-makna pada sebuah kata atau satuan
ujaran yang polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lain.
d. Homonim
Yaitu dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama dan
maknanya berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang
berlainan. Pada kasus homonim ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan,
yaitu homofon dan homograf. Homofon adalah adanya kesamaan bunyi antara dua
satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya. Homograf adalah bentuk ujaran yang
ortografinya dan ejaannya sama, tetapi ucapan dan maknanya berbeda. Perbedaan
antara homonim dengan polisemi adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk
ujaran atau lebih yang “kebetulan” bentuknya sama, dan maknanya berbeda,
sedangkan polisemi yaitu sebuah bentuk ujaran yang memiliki makna lebih dari
satu. Dengan demikian jelas bahwa antara keduanya tidak punya hubungan sama
sekali.
e. Hiponimi
Yaitu hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup
dalam makna bentuk ujaran yang lain. Relasi hiponimi bersifat searah.
f. Ambiguitas atau Ketaksaan
Yaitu gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal
yang berbeda. Ketaksaan terjadi dalam bahasa tulis akibat perbedaan gramatikal
karena ketiadaan unsur lisan, karena ketidakcermatan dalam menyusun konstruksi
beranaforis. Perbedaan homonim dengan ambiguiti adalah bahwa homonim yaitu dua
buah bentuk atau lebih yang kebetulan bentuknya sama, sedangkan ambiguitas
adalah sebuah bentuk dengan dua tafsiran makna atau lebih. Perbedaan polisemi
dengan ambiguitas adalah bahwa polisemi biasanya hanya pada tataran kata, dan
makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu itu, sedangkan ambiguiti
adalah satu bentuk ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat
perbedaan tafsiran gramatikal.
g. Redudansi
Yaitu kata yang berlebih-lebihan yang menggunakan unsur segmental dalam
suatu bentuk ujaran.
Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi
secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Dalam masa yang relative
singkat, makna sebuah kata tidak akan berubah, tetapi dalam waktu yang relative
lama ada kemungkinan makna tersebut akan berubah. Ini tidak berlaku untuk semua
kosakata, tetapi hanya terjadi pada sebuah kata saja, yang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain :
1.
Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2.
Perkembangan sosial budaya
3. Perkembangan
pemakaian kata
4.
Pertukaran tanggapan indera (sinestesia)
5. Adanya
asosiasi
Sumber:
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
A.
Bahasa Bersifat Arbitrer
Pengertian
arbitrer dalam studi bahasa adalah manasuka, asal bunyi, atau tidak ada
hubungan logis antara kata sebagai simbol (lambang) dengan yang dilambangkan.
Arbitrer berarti dipilih secara acak tanpa alasan sehingga ciri khusus bahasa
tidak dapat diramalkan secara tepat. Contoh bahasa yang arbitrer: Anjing
: indonesia Dog :inggris Kalbun :arab. Kata
arbitrer mengandung arti manasuka. Tetapi istilah arbitrer disini adalah tidak
adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep
atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut (Chaer 1994:45). Yang
dimaksud dengan arbitrer adalah tidak adanya hubungan langsung yang bersifat
wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya.
Dengan kata lain, hubungan
antara bahasa dan wujud bendanya hanya didasarkan pada kesepakatan antara
penurut bahasa di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Misalnya, lambang
bahasa yang berwujud bunyi kuda dengan rujukannya yaitu seekor binatang berkaki
empat yang biasa dikendarai, tidak ada hubungannya sama sekali, tidak ada ciri
alamiahnya sedikit pun. Bahasa bersifat arbiter artinya tidak ada hubungan
wajib antara satuan-satuan bahasa dengan hal yang dilambangkannya.kita tidak menjawab mengapa
suatu benda dinamai pohon, sedangkan kata sosial lain disebut Wit. Syajur atau
arbiter.
walaupun demikian ada unsur
bahasa lain yang tidak terlalu arbiter yaitu apa yang disebut Anomatope seperti
bunyi suara ayam, gemerincing. yang masih punya kesamaan faktuil dengan apa
yang dilambangkannya. Unsur bahasa ini jumlahnya terbatas. Ciri arbitrer ini
tampak pada hubungan antara lambang dan yang dilambangkan dalam pengertian
bahwa tidak ada hubungan langsung antara lambang dan yang dilambangi. Dalam
bahasa Indonesia, kata pencuri melambangi ‘orang yang beroperasi
mengambil milik orang lain tanpa minta izin dan tanpa sepengetahuan
pemiliknya’. Tidak dapat dinalar mengapa lambang yang digunakan adalah pencuri,
dan bukan perampok, pengambil, pembajak. Pelambang seperti itu
dalam bahasa Inggris disebut thief. Mengapa pelambangnya demikian?
Tidak dapat dijawab karena tidak ada hubungan logis antara lambang dan yang
dilambangi itu. Dalam objek atau pengalaman yang manapun tidak didapati sifat-sifat
yang berpautan yang menuntut kita untuk melekatkan lambang-lambang verbal pada
objek dan pengalaman itu.
Kita menggunakan kata burung
untuk menunjukkan binatang vertebrata yang bersayap dan bertelur. Orang
Inggris menggunakan kata bird; orang Arab teorun; orang Bugis
manuk-manuk; dan orang Belanda voget. Pelambangan seperti di
atas tidaklah bersifat individual. Tidak ada peluang bagi setiap individu untuk
menciptakan satuan bahasa sekehendaknya. Sifat arbitrer itu hanya berlaku dalam
masyarakat bahasa dalam bentuk kesepakatan atau konvensi. Jadi, masyarakat
bahasalah yang secara sewenang-wenang menentukan lambang-lambang dalam bahasa
dan menentukan pula wujud yang dilambangi oleh lambang-lambang itu.
Arbitrer
adalah sembarang, sewenang – wenang, maka suka, berubah – ubah. Maksudnya
adalah tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa dengan konsep atau
pengertian yang dimaksud lambang tersebut misalnya kita tidak bisa menjelaskan
hubungan antara lambang bunyi (air) dengan benda yang dilambangkan yaitu
benda cair yang diapakai. Contohnya : kuda yang disebut oleh orang Kata
Arbitrer bisa diartikan 'sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana
suka'. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan
wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian
yang dimaksud oleh lambang tersebut. Umpamanya, antara [kuda] dengan yang
dilambangkannya yaitu "sejenis binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai". Kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut
dilambangkan dengan bunyi [kuda]. Mengapa, misalnya bukan [aduk] atau [akud]
atau lambang yang lainnya.
Begitu
juga, kita tidak dapat menjelaskan hubungan antara lambang bunyi [air] dengan
benda yang dilambangkannya, yaitu "barang cair yang biasa dipakai untuk
minum, mandi, atau memasak", yang rumus kimianya H2O. Mengapa bukan
dilambangkan dengan bunyi [ria] atau [ari]. tidak bisa dijelaskan karena sifat
arbitrer itu. Ferdinand de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan apa
yang disebut signifiant (Inggris: signifier) dan signifie (Inggris: signified).
Signifiant adalah lambang bunyi iyu, sedangkan signifie adalah konsep yang
dikandung oleh signifiant. Dalam peristilahan Indonesia dewasa ini ada
digunakan istilah penanda untuk lambang bunyi atau signifiant dan istilah petanda
untuk konsep yang dikandungnya, atau diwakili oleh penanda tersebut. Hubungan
antara signifiant dan signifie itulah yang bersifat arbitrer.
Lambang
yang berupa bunyi itu tidak memberi "saran" atau "petunjuk"
apapun untuk mengenal konsep yang diwakilinya. Tidak adanya hubungan antara
signifiant dan signifie menyebabkan Bolinger (1975:22) mengatakan: Seandainya
ada hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, maka seseorang
yang tidak tahu suatu bahasa tertentu akan dapat menebak makna sebuah kata
apabila dia mendengar kata itu diucapkan. Kenyataannya, kita tidak bisa menebak
makna sebuah kata dari bahasa apapun (termasuk bahasa sendiri) yang belum
pernah kita dengar karena bunyi kata tersebut tidak memberi "saran"
atau "petunjuk" apapun untuk mengetahui maknanya.
Apabila
ada hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya, tentu lambang
yang dalam bahasa Indonesia berbunyi [kuda], akan disebut juga [kuda] oleh
orang di klaten, bukannya [jaran]. Di Inggris orang juga akan menyebut [kuda]
dan bukannya <horse>; begitu juga di negara lain. Lalu andaikata ada
hubungan wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya maka di bumi ini
tidak akan ada bermacam-macam bahasa. Tentu hanya ada satu bahasa yang meskipun
mungkin berbeda tetapi perbedaannya tidak terlalu banyak. Memang ada juga yang
berpendapat bahwa ada sejumlah kata dalam bahasa apapun yang lambangnya berasal
dari bunyi benda yang diwakilinya. Misalnya lambang [meong] dalam bahasa
Indonesia, yang mempunyai hubungan dengan konsep yang dilambangkannya, yaitu
sejenis binatang buas yang bunyinya [meong]; atau lambang bunyi [cecak] yang
mempunyau hubungan dengan konsep yang dilambangkannya, yaitu sejenis reptil
yang bunyinya [cak, cak, cak].
Jadi,
di sini kata-kata yang disebut onomatope (kata yang berasal dari tiruan bunyi)
ini lambangnya memberi "saran" atau "petunjuk" bagi konsep
yang dilambangkannya. Kalau begitu dapat dikatakan hubungan antara lambang
dengan konsep yang dilambangkannya tidak bersifat arbitrer. Karena paling tidak
ada "saran" bunyi yang menyatakan hubungan itu. Namun kalau diteliti
lebih jauh, yang disebut onomatope ini pun ternyata tidak persis sama antara
bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Bunyi ayam jantan yang dalam bahasa
Indonesia dan dialek Jakarta berbunyi [kukuruyuk] ternyata dalam bahasa Sunda
berbunyi [kongkorongok]. Kalau titanya, mengapa bunyi benda yang sama terdengar
berbeda oleh dua penutur bahasa yang berlainan, agak sukarlah menjawabnya.
Mungkin juga sebagai akibat kearbitreran bahasa itu atau juga karena sistem
bunyi bahasa-bahasa itu tidak sama.
Sumber:
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar