PENANDA Fatis DAN INTERJEKSI
dalam Bahasa jawa
Na’iim A.M
Abstract:
Phatic marker contained in
the syntactic knowledge, that the actual phatic
marker in a sentence itself does not have a
specific meaning. Phatic marker is
in charge of word classes start, maintain,
or strengthen, the
communication between the speaker
and the listener. Usually in the context of the dialogue. Phatic marker and interjection are two types of words
are very frequently used in the Java language speech. Phatic marker in the Java
language, among others: (1) particles, (2) the word phatic. Phatic marker in
the form of particles, among others: to, ora. Lha, lha iyo, ojo , etc. The word is used as a marker of phatic include:
wong, endhang, emboh,
kuwi, nyaopo etc. Phatic marker in the form of repetition can be a final syllable words
and words intact. Phatic marker in the form of affixes is –è, –i and –ne.
Interjection of the most frequently used in the Java language, among
others: (1) mosok to surprise and
shock, (2) biyoh for admiration or
incredibility, (3) halah gak for disappointment,
and (4) wegah to anger or rejection.
Abstrak:
Penanda fatis
terdapat di ilmu sintaksis, bahwa penanda fatis sebenarya dalam suatu kalimat
itu sendiri tidak memiliki arti tertentu. Penanda fatis adalah kelas kata yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan, komunikasi antara pembicara dan pendengar.
Biasanya terdapat dalam konteks dialog. Penanda fatis dan interjeksi merupakan dua
jenis kata yang sangat sering digunakan dalam tuturan bahasa Jawa. Penanda
fatis dalam bahasa Jawa antara lain: (1) partikel, (2) kata fatis. Penanda
fatis yang berupa partikel antara lain: to, ora. Lha, lha iyo, ojo ,dll. Kata yang digunakan
sebagai penanda fatis antara lain: wong, endhang, emboh, kuwi, nyaopo dll. Penanda fatis yang berupa
pengulangan kata dapat berupa suku akhir dan kata utuh. Penanda fatis yang
berupa afiks ialah –è, –an dan –ne.
Interjeksi yang paling sering digunakan dalam bahasa Jawa antara lain: (1) mosok
untuk keheranan dan kekagetan, (2) biyoh untuk kekaguman atau
keluarbiasaan, (3) halah untuk kekecewaan, dan (4) wegah
untuk kemarahan atau penolakan.
1. Pengantar
Penanda
fatis (phatic markers) dan interjeksi (interjection)—yang oleh
Leech (1990) disebut pragmatic particles dan oleh Schachter (1985)
disebut politeness markers—merupakan dua jenis kata yang sangat berperan
dalam komunikasi, tetapi tidak pernah disinggung dalam pembahasan tentang
bahasa Jawa (JW). Hal itu terjadi karena pembahasan tentang JW yang dilakukan
selama ini umumnya berkaitan dengan masalah gramatika; dan sebagai ciri ragam
lisan, kedua klasifikasi kata tersebut (mungkin) dianggap tidak berhubungan
dengan masalah gramatika.
Penanda
fatis adalah satuan kebahasaan yang digunakan untuk memulai, mempertahankan,
atau mengukuhkan komunikasi antara penutur dengan mitra tutur. Penanda fatis
dapat digunakan pada setiap jenis kalimat; baik pada kalimat imperatif,
interogatif, maupun deklaratif (Kridalaksana, 2005). Interjeksi adalah satuan
kebahasaan yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur; tidak dapat
diberi afiks dan secara sintaktis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam
ujaran (Kridalaksana, 1984). Dengan demikian, walaupun penggunaannya tidak
mempunyai makna gramatikal (dan leksikal) tetapi mempunyai makna komunikatif.
Perbedaan
antara kedua kategori kata tersebut adalah: (1) penanda fatis dapat ditempatkan
di bagian tuturan mana pun bergantung maksud penutur, sedangkan interjeksi
bersifat ekstrakalimat atau selalu mendahului tuturan sebagai teriakan yang
lepas atau berdiri sendiri; dan (2) penanda fatis bersifat komunikatif,
sedangkan interjeksi bersifat emotif (Kridalaksana, 2005). Permasalahannya
adalah penanda fatis dan interjeksi apa sajakah yang digunakan komunikasi
BJ ? Bagaimanakah bentuk dan fungsinya dalam komunikasi BJ?
2. Penanda Fatis
Dilihat dari
bentuknya, penanda fatis dalam BJ terdiri atas: (1) partikel, (2) kata fatis,
(3) penambahan bunyi glotal pada akhir kata, (4) pengulangan kata, dan (5)
penggunaan afiks.
2.1 Partikel
Penanda fatis yang berupa partikel antara lain: to,
ora. Lha, lha iyo, ojo ,dll. Partikel
dalam BJ tidak dapat melekat pada kata lain.
(1)
Partikel tò
Suatu bahasa atau kalima
dalam bahasa jawa, partikel tò
digunakan sebagai penekanan sebuah perintah atau larangan. Partikel tò digunakan apabila mitra tutur
belum melakukan perbuatan yang dikehendaki atau tidak dilakukan oleh lawan
penutur, tetapi ada kesempatan lawan
tutur untuk melanggar perintah atau melakukan perbuatan yang tidak
dikehendaki oleh penutur.
1. Wes
opo ugung to.
(sudah apa
belum..to)
2. Ojo
muleh sek to.
(jangan pulang dulu...to)
Pada kalimat interogatif, partikel yâ digunakan
untuk meminta pendapat atau persetujuan lawan tutur. Seperti contoh berikut.
3.
kowe
wes mangan to?
(‘kamu sudah
makan to?’)
4.
tugasmu wes mbok kerjakne to?
(‘saya akan minta juga ya?’)
(2)
Partikel ora, lha
Partikel ora, , dan lha hanya
digunakan pada kalimat imperatif. Di antara kedua partikel tersebut, ora dan
lha mempunyai variasi tingkat tutur. Partikel ora digunakan apabila
penutur tidak setuju dengan mitra tutur atau bisa dikatakan sebagai awalan dari
sebuah jawaban sedangkan partikel lha digunakan
penutur untuk mengawali pembicaraan atau digunakan untuk ketidakpercayaan. Contoh
kalimat dalam bahasa jawa pada partikel ora
adalah
1.
Ora aku mau seng nyileh terakhir ora aku.
Tidak saya tadi yang pinjam terakhir tidak
saya.
2.
Ora aku yo.
Tidak saya ya.
3.
Partikel
lha iyo
Partikel lha iyo digunakan pada kalimat
sepemahaman untuk mengungkapkan pembuktian sikap atau pendapat penutur yang
sudah pernah dilakukan atau disampaikan sebelumnya.
1.
Lha iyo urong ngerti wes tuku
Iya itu belum tahu kok sudah beli
2.
Lha iyo wong kuwi aneh
Lha itu orang itu aneh
4.
Partikel
ojo
Partikel ojo digunakan pada kalimat imperatif
dan kalimat deklaratif. Pada kalimat imperatif, partikel ojo berposisi pada akhir kalimat;
berfungsi menegaskan larangan yang dilakukan oleh penutur. Partikel ojo yang digunakan pada kalimat
imperatif, merupakan pengulangan dari penanda negatif ojo‘ jangan’.
1.
Iyo ojo
Iya jangan
Pada kalimat deklaratif, partikel ojo selalu
berposisi pada awal kalimat. contoh:
1.
ojo tuku jajan kuwi engko watuk kok.
‘jangan beli jajan itu nanti kamu batuk kok’
2.2 Kata
Kata yang
digunakan sebagai penanda fatis dalam BJ antara lain: wong, endhang, emboh,
kuwi, nyaopo yang dalam BI sebenarnya bermakna ‘orang’, ‘cepatan’, ‘tidak
tahu’, ‘itu’, ‘kenapa’.
(1)
Kata
wong
Kata wong dalam penanda fatis bahasa jawa bukan arti yang
sebenarnya. Artinya bukan ‘orang
(manusia)’, tetapi hal itu tidak memiliki arti yang jelas, hanya saja digunakan
untuk menyatakan memperjelas perkataan yang di utarakan Si Penutur untuk lawan
tuturnya.
1. Wong aku wingi mari teko malang
‘ aku kemarin dari malang’
2. Wong sesok aku sekolah
‘ besok aku sekolah’
3. Wong awakmu gak kenek dipercoyo
‘kamu gak bisa dipercaya’
(2)
Kata
endhang
Kata endhang merupakan sebuah kata yang
digunakan seseorang untuk menyuruh seseorang untuk melakukan sesuatu yang
dikehendakinya contohnya antara lain:
1.
Endhang mlaku yo.
Cepat
jalan ya.
2. Endhang tuku
sego kono.
Cepat
beli nasi sana.
(3)
Kata
emboh
Kata emboh sebenarnya juga merupakan kata jawaban dari mitra
tutur. Dalam tuturan bahasa Jawa biasanya mitra tutur menjawab jawaban dengan
jawaban seadanya. Sebagai contoh berikut:
1.
Emboh ra ngerti aku.
Tidak
tahu aku.
2.
Emboh gak ngerti sopo seng jupuk.
Tidak
tahu siapa yang ambil.
(4)
Kata
kuwi
Kata kuwi merupakan kata penunjuk sesuatu yang digunakan penutur untuk
menunjukkan sesuatu yang ditunjuk penutur untuk mitra tuturnya. Kata kuwi
digunakan untuk penunjuk banyak hal di antaranya untuk penunjuk barang,
penunjuk benda, penunjuk orang dan lain-lain. Sebagai contoh berikut:
1.
Kuwi lo balmu.
Itu
lo bolamu.
2.
Kuwi lo koncomu.
Itu
lo temanmu
(5)
Kata
nyaopo
Kata nyaopo merupakan kalimat tanya seperti
bahasa Indonesia kenapa, tapi kali ini digunakan dalam bahasa jawa. Kata nyaopo sebuah pertanyaan mitra tutur
terhadap penutur. Sebagai contoh berikut:
1.
Nyaopo wong gak
aku seng tuku
Kenapa
tidak saya yang beli.
2. Nyaopo rene wong
aku arep muleh.
Kenapa kesini saya mau pulang.
2.5 Penggunaan Afiks
Penanda fatis yang berupa penggunaan afiks hanya dijumpai pada kalimat
imperatif. Afiks yang digunakan sebagai penanda fatis ialah –è, –an dan –ne.
1.
Afiks -è dan –an
Afiks –è dan -an bila
dilekatkan pada kata bocah ‘anak’ dan endhang ‘segera’ berfungsi
sebagai penanda fatis, yakni untuk menegaskan perintah. Seperti contoh tuturan
berikut.
1.
Bocah.e wes kon ndang muleh, wes bengi.
Anaknya sudah disuruh segera pulang, sudah
malam.
2. endhangan tuku sego, ben gak lesu.
Segera beli nasi, biar
tidak lapar.
Penggunaan
kedua afiks tersebut sering tumpang tindih atau saling menggantikan.
2.
Afiks –ne
Afiks –ne dalam bahasa Jawa merupakan afiks yang
menekankan pada objek kata yang ingin dilakukannya contohnya:
1.
Mangane entek sak bungkus.
Makannya habis satu bungkus.
2.
Tangane gak iso meneng.
Tangannya tidak bisa diam.
3. Interjeksi
interjeksi dalam BJ merupakan kategori kata yang ada
untuk mengungkapkan
rasa hati penuturnya. Interjeksi yang
paling sering digunakan dalam bahasa Jawa antara lain: (1) mosok untuk keheranan dan kekagetan, (2) biyoh
untuk kekaguman atau keluarbiasaan, (3) halah untuk kekecewaan,
dan (4) wegah untuk kemarahan atau penolakan.
Bentuk interjeksi:
1. Interjeksi primer: lho. Lha, wah, o, ah
2. Sekunder: adhuh,
wadhuh, hore
4.
kesimpulan
Penanda
fatis dalam bahasa Jawa antara lain: (1) partikel, (2) kata fatis. Penanda
fatis yang berupa partikel antara lain: to, ora. Lha, lha iyo, ojo ,dll. Kata yang digunakan
sebagai penanda fatis antara lain: wong, endhang, emboh, kuwi, nyaopo dll. Penanda fatis yang berupa
pengulangan kata dapat berupa suku akhir dan kata utuh. Penanda fatis yang
berupa afiks ialah –è, –i dan –ne. Interjeksi yang paling sering
digunakan dalam bahasa Jawa antara lain: (1) mosok untuk keheranan dan
kekagetan, (2) biyoh untuk kekaguman atau keluarbiasaan, (3)
halah untuk kekecewaan, dan (4) wegah untuk kemarahan atau
penolakan.
DAFTAR PUSTAKA
Kridalaksana, Harimurti. 1984.
Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
----------.
2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus
Linguistik. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar